SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA PONPES AL-HIKAMUSSALAFIYAH, CIPULUS PURWAKARTA


 Pesantren Cipulus pertama berdirinya pada tahun 1840, didirikan oleh K.H Ahmad bin Nurqoyyim bin Marodiwangsa, keturunan pembesar pengikutnya Sultan Agung. K.H Ahmad akrab dengan panggilan ajengan Memed, Ia santri Kesayangan Maulana syaikh Yusuf (Purwakarta), ulama dan Pahlawan besar di Jawa Barat pada awal abad ke-19.
     Ajengan Memed merupakan santri tang rajin, memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi, sehingga ia dapat dengan mudah menyerap ilmu-ilmu yang diberikan oleh gurunya, baik ilmu agama maupun ilmu strategi perang dan ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan di masa itu. Ketika Belanda gencar melakukan tekanan terhadap bangsa Indonesia, ia bertekad mendirikan sebuah pesantren. Tujuannya menghimpun para santri untuk menyebarkan Agama Islam dan membantu meraih kemerdekaan.
     Dengan bekal ilmu yang ia miliki,  pada tahun 1840 didirikanlah sebuah pesantren yang sederhana di wilayah bekas Ibu kota Karawang, di Kecamatan Wanayasa Kabupaten Purwakarta. Pada waktu itu, yang menjadi Bupatinya adalah R. Surianata Kusumah atau yang dikenal dengan sebutan Kanjeng Dalem Santri (1812-1830)
     Kemudian Ibu Kota Karawang dipindahkan ke Sindangkasih Purwakarta. Menurut satu keterangan dari seseorang asal Jawa Timur yang pernah datang ke Ajengan Memed pada tahun 1850. Menurutnya,  Marodiwangsa itu masih ada hubungan silsilah dengan Antawirya atau Pangeran Diponegoro.
     Diponegoro wafat pada tanggal 8 Januari 1855 di Ujung Pandang Makassar,  Sulawesi yang di buang oleh pemerintahan Belanda.
     Pesantren tersebut di pimpin langsung oleh Ajengan Memed hingga akhir hayatnya pada tahun 1870. Setelah ia wafat pesantren ini diteruskan oleh:
1. K.H Nasir (1870-1900) (Putra Mama Memed)
2. K.H M. Arif (1900-1920)
3. Kyai Syu'eb (1920-1937) (Menantu Mama Arif)
4. K.H Masduki (1937-1942)
5. K.H Zaenal Abidin (1942-1957) (Pamannya Mama Izzudin)
     Pada tahun 1957, Pesantren ini sempat bubar karena adanya gangguan keamanan, pengacauan DI/TII sedang berkecamuk sehingga K.H Zainal Abidin yang memimpin pesantren di masa itu menganggap perlu mengamankan diri demi menyelamatkan keberadaan pesantren dan para santrinya. Ada yang ikut mengungsi dengan gurunya dan ada pula yang ikit dengan saudara-saudaranya di kota lain yang dianggap aman.

Sumber: buku Catatan Sejarah Cipuluh
               Oleh Ust. Muhammad Al Jufry (Rois 'Am '09)

Comments

Popular Posts